Jika ada satu nabi yang paling sabar menghadapi penolakan—itu adalah Nabi Nuh ‘alaihissalam. Ia berdakwah bukan sepuluh tahun. Bukan seratus. Tapi lebih dari sembilan abad.
“Sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun...”
Sembilan ratus lima puluh tahun. Dan selama itu, hampir semua orang menolaknya.
Awal Dakwah: Seruan di Tengah Kegelapan
Nuh hidup di masa ketika umat manusia telah menyimpang jauh dari ajaran tauhid. Mereka menyembah berhala-berhala yang dinamai dengan nama orang saleh zaman dulu—Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.

Berhala-berhala ini awalnya hanya simbol penghormatan. Tapi lambat laun disembah. Dan Nuh diutus untuk mengembalikan manusia kepada tauhid.
Ia mulai berdakwah:
Siang dan malam.
Terang-terangan dan sembunyi-sembunyi.
Di pasar, di rumah, di ladang.
Namun yang terjadi adalah penolakan total.
“Dan setiap kali aku menyeru mereka agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan jari-jari mereka ke telinga, menutupi diri dengan baju mereka, dan tetap pada kesombongan...”
Kaum yang Mengejek dan Menertawakan
Nuh bukan hanya ditolak. Ia dilecehkan, difitnah, dan ditertawakan.
“Kami hanya melihat engkau diikuti oleh orang-orang yang rendah di antara kami.”
Mereka menganggap hanya orang miskin dan lemah yang mengikuti Nuh. Yang kaya dan berpengaruh menuduhnya sebagai orang gila.
“Sungguh, dia itu orang gila!”
Mitos populer di beberapa riwayat menyebut bahwa mereka pernah membangun panggung untuk menertawai Nuh secara terbuka setiap kali ia berdakwah—tapi ini tidak ada dalil sahih, meski sejalan dengan gambaran penghinaan yang diterimanya.
Seruan yang Tidak Pernah Berhenti
Nuh tak berhenti. Ia terus berseru:
“Wahai kaumku, sembahlah Allah, tiada tuhan bagi kalian selain-Nya...”
Ia mengingatkan dengan lembut. Ia menggertak dengan ancaman. Ia merayu dengan surga. Ia menakut-nakuti dengan azab. Semua metode dakwah dipakai—tapi hati mereka terkunci.
Saat Harapan Mulai Luruh
Setelah berabad-abad berlalu, hanya sedikit yang beriman. Bahkan istri dan anak kandung Nuh sendiri—tidak ikut dalam keimanan.
Nuh mulai berdoa. Bukan lagi mendoakan hidayah. Tapi meminta penyelesaian dari Allah.
“Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun dari orang-orang kafir itu tinggal di muka bumi...”
Bukan karena Nuh dendam. Tapi karena mereka telah mengunci diri dari kebenaran, dan hanya akan menyesatkan keturunan mereka.
Perintah Membangun Kapal di Tengah Padang Pasir

Lalu datanglah wahyu yang mengubah segalanya: Allah memerintahkan Nuh membangun sebuah kapal raksasa.
“Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan wahyu Kami...”
Bayangkan: membangun kapal besar, di padang pasir, di tengah kaum yang mengejekmu selama 950 tahun.
Setiap kali orang lewat, mereka menertawakannya:
“Wahai Nuh, apakah engkau membangun kapal di daratan? Apakah engkau telah menjadi tukang kayu?”
Konon (dan ini mitos): Nuh membutuhkan 100 tahun untuk menyelesaikan kapal itu, dan mengajarkan sendiri cara memotong kayu dan menyusun papan. Riwayat ini tidak sahih, tapi sering disebut oleh para ahli tafsir klasik sebagai ilustrasi lamanya proses tersebut.
Banjir Besar: Akhir dari Kesombongan Manusia

Saat perintah Allah datang, air memancar dari tanah. Hujan deras turun dari langit.
“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan air yang tercurah deras, dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air...”
Kapal itu mulai mengapung. Nuh memanggil anaknya:
“Wahai anakku, naiklah bersama kami, dan jangan bersama orang-orang kafir.”
Anaknya menolak.
“Aku akan berlindung ke gunung yang dapat menyelamatkanku dari air!”
Lalu ombak datang dan memisahkan mereka.
Sebuah Doa yang Tak Dijawab
Nuh memohon agar anaknya diselamatkan. Tapi Allah menjawab:
“Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu (dalam iman)...”
Air mata Nuh tumpah. Ia telah kehilangan seorang anak. Tapi ia tidak menggugat ketetapan Allah. Ia tunduk. Dan kapalnya berlabuh di atas bukit Judi, saat air telah surut.
Pelajaran dari Seorang Nabi yang Tak Pernah Menyerah
Nuh adalah lambang dakwah tanpa lelah, iman tanpa putus asa, dan keteguhan meski hampir sendirian.
Ia mengajarkan kita: