
“Maka Kami benamkan dia (Qarun) bersama rumahnya ke dalam bumi.” (QS. Al-Qasas: 81).
Tanah terbuka seperti mulut raksasa, menelan Qarun, istana, kereta emas, dan semua pengikutnya yang sombong. Dalam sekejap, pameran kekayaan itu berubah menjadi kuburan masal. Orang-orang yang sebelumnya iri kini gemetar: “Inikah akhir dari orang yang mengaku ‘pemilik dunia’?”
Esok harinya, kaum Musa berdatangan ke lokasi bencana. Mereka menyaksikan lubang menganga seluas bukit—bekas istana Qarun yang hilang tanpa sisa. Yang tersisa hanyalah bau busuk dan debu. Orang-orang yang kemarin ingin menjadi seperti Qarun kini menangis:
“Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasinya. Sekiranya Allah tidak melimpahkan karunia-Nya kepada kita, niscaya kita pun ditenggelamkan-Nya.” (QS. Al-Qasas: 82).
Mengapa Detail Ini Penting?
Kisah Qarun bukan dongeng penghantar tidur. Ia adalah simulasi nyata tentang bahaya keserakahan. Dengan menggambarkan detil sensorial (bau belerang, gemuruh bumi, kereta emas), pembaca diajak merasakan langsung bagaimana arogansi materialistik berakhir tragis. Di era yang memuja Elon Musk dan Jeff Bezos, Qarun adalah alarm pengingat: Kekayaan tanpa syukur = bom waktu.
Temukan artikel menarik lainnya yang mungkin Anda sukai berdasarkan topik dan kategori yang serupa.