Kisah Para Tabi'in: Generasi Setelah Sahabat Nabi
Sejarah

Kisah Para Tabi'in: Generasi Setelah Sahabat Nabi

Di balik kemegahan nama-nama besar para sahabat Nabi—Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali—ada generasi yang tak kalah mulianya: para Tabi'in. Mereka bukan sahabat, tapi mereka menyaksikan para sahabat. Mereka tidak pernah bertemu Nabi ﷺ, namun menyerap cahaya kenabian lewat para perawi yang hidup bersamanya.

Generasi ini adalah jembatan emas antara zaman wahyu dan zaman manusia biasa. Mereka hidup di tengah gejolak politik, perluasan wilayah Islam, dan kekacauan pasca wafatnya para sahabat besar. Tapi di tengah badai itu, mereka memancarkan cahaya ilmu, zuhud, dan keberanian yang tak mudah dipadamkan.

1. Hasan al-Bashri – Sang Singa dari Basrah

Namanya meledak bukan karena kekuasaan, tapi karena ketajaman lidahnya dalam menegur para penguasa dan kehalusan hatinya dalam menyampaikan ilmu. Hasan al-Bashri, anak dari budak yang dibebaskan oleh Ummu Salamah, istri Nabi ﷺ, tumbuh besar di rumah para sahabat.

Pernah satu kali, ketika Gubernur al-Hajjaj bin Yusuf—tokoh tiran yang dikenal kejam—menindas rakyat, Hasan berkata lantang di mimbar:

“Takutlah kalian kepada Allah! Keadilan itu menyejukkan rakyat, bukan pedang yang haus darah!”

Padahal al-Hajjaj terkenal membunuh siapa saja yang berani mengkritiknya. Namun, mitos yang tersebar—dan ini mitos—mengatakan bahwa setiap kali Hasan hendak dibunuh, pedang para algojo mendadak patah, dan al-Hajjaj ketakutan setengah mati karena mimpi aneh tentang Hasan.

Yang pasti benar: Hasan tetap hidup, terus berdakwah, dan wafat dalam kehormatan tinggi. Murid-muridnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam.

2. Urwah bin Zubair – Sang Ulama yang Kakinya Diamputasi

Urwah bin Zubair, anak dari Asma’ binti Abu Bakar dan keponakan Aisyah radhiyallahu ‘anhuma, adalah seorang ahli hadis dan fiqih terkemuka. Tapi hidupnya jauh dari nyaman.

Suatu hari, saat hendak menghadap Khalifah di Damaskus, kakinya terluka dan membusuk. Para tabib memutuskan: harus diamputasi. Tapi di masa itu, belum ada bius modern. Maka mereka memintanya mabuk. Tapi Urwah menolak.

“Bila aku sedang shalat, aku tidak merasa dunia ini ada. Lakukan saat aku shalat.”

Dan benar saja—ketika Urwah shalat, mereka memotong kakinya. Ia tidak berteriak. Tidak goyah. Ia tetap dalam ketenangan shalatnya. Setelah itu, musibah belum usai. Salah satu anaknya meninggal tertendang kuda.

Urwah hanya berkata:

“Ya Allah, Engkau telah memberi empat. Kini Engkau ambil satu. Engkau tinggalkan tiga. Maka aku bersyukur.”

Air mata para tabib jatuh. Inilah kekuatan iman yang tidak dibuat-buat.

3. Muhammad bin Sirin – Penafsir Mimpi yang Menolak Uang Haram

Mungkin banyak orang mengenalnya karena kemampuan tafsir mimpi, tapi Muhammad bin Sirin lebih dikenal di zamannya sebagai ahli fiqih dan pedagang jujur.

Suatu kali ia ditipu dalam perdagangan. Ia tahu barang yang dikirim padanya cacat. Tapi ia tidak sempat memisahkannya. Keesokan harinya, barang itu sudah dijual. Muhammad langsung menghitung keuntungannya, dan membakarnya.

Mitos yang beredar—dan ini mitos—mengatakan bahwa uang yang ia bakar berubah jadi debu sebelum api menyentuhnya, sebagai tanda keikhlasannya. Tapi faktanya: ia memang rugi besar, dan ia tidak menyesal sedikit pun.

Ia pernah dipenjara karena fitnah, dan di dalam penjara, ia malah membuka majelis ilmu dan tafsir mimpi. Di saat orang mengeluh, ia malah berkata:

“Ini tempat terbaik bagiku, karena aku bebas dari dunia yang menipu.”

4. Said bin al-Musayyib – Penjaga Warisan Madinah

Jika Madinah adalah ladang ilmu, maka Said bin al-Musayyib adalah penjaganya. Ia tidak pernah meninggalkan Masjid Nabawi selama 40 tahun. Shalat berjamaah tak pernah luput darinya. Ia menolak keras jabatan, harta, dan pengaruh politik.

Satu kisah mencengangkan: Khalifah Abdul Malik bin Marwan ingin menikahkan putranya, al-Walid, dengan putri Said. Ini berarti masuk ke lingkar kekuasaan! Tapi Said menolak... dan malah menikahkan putrinya dengan salah satu murid miskinnya. Diam-diam. Tengah malam.

Ketika sang murid bingung dan takut, Said berkata:

“Aku ingin ilmu tetap pada orang yang amanah. Kekuasaan mencuri hati manusia.”

Putrinya pun ternyata ahli hadis dan hafal Al-Qur’an. Pernikahan itu penuh keberkahan, jauh dari istana, tapi dekat dengan surga.

Mengapa Kisah Mereka Menyihir Zaman?

Karena para Tabi'in bukan superhero dalam film. Mereka manusia biasa. Mereka menangis, kehilangan, ditipu, dan dihukum. Tapi mereka selalu memilih Allah. Itu yang membuat kisah mereka terasa hidup. Mereka bukan cerita dongeng. Mereka teladan yang nyata.

Ya, ada mitos yang berkembang di sekitar mereka, karena betapa hebatnya pengaruh mereka. Tapi di balik itu semua, yang benar-benar membuat pembaca tak bisa berhenti adalah: mereka hidup dalam kejujuran, kesederhanaan, dan keberanian—di saat dunia menawarkan sebaliknya.