Kisah Nabi Musa AS dan Wanita Pezina yang Bertobat
Kisah Para Nabi

Kisah Nabi Musa AS dan Wanita Pezina yang Bertobat

Table of Contents

    Hari itu, angin gurun berhembus lembut, membawa debu yang menari di udara. Nabi Musa AS tengah duduk di bawah naungan sebuah pohon, mendengarkan keluh kesah umatnya yang datang silih berganti. Di antara mereka, tampak seorang wanita berjalan mendekat. Langkahnya ragu-ragu, wajahnya penuh duka, dan matanya sembab seolah telah lama menangis.

    Saat tiba di hadapan Nabi Musa AS, ia jatuh berlutut, tubuhnya gemetar. Dengan suara yang lirih namun penuh derita, ia berkata, "Wahai Nabi Allah, aku telah melakukan dosa yang sangat besar..."

    Ia terisak, menarik napas berat sebelum melanjutkan, "Aku telah berzina, dan karena takut aibku terbuka, aku membunuh anakku sendiri. Aku telah menumpahkan darah yang tak bersalah. Apakah masih ada harapan bagiku? Apakah Allah masih akan mengampuniku?"

    Nabi Musa AS memandang wanita itu dengan sorot mata yang dalam. Hatinyapun berat mendengar pengakuannya. Dengan suara yang tegas, ia berkata, "Dosamu sungguh besar! Bagaimana mungkin seseorang yang telah melakukan dua perbuatan keji ini masih bisa diampuni?"

    Wanita itu tersentak. Cahaya harapan yang tersisa di matanya seketika redup. Tangisnya pecah. Dengan langkah gontai, ia bangkit dan pergi, membawa kepedihan yang lebih dalam daripada sebelumnya. Hatinya tenggelam dalam lautan penyesalan, tanpa pegangan, tanpa harapan.

    Namun, di tengah keheningan itu, Allah berbicara kepada Nabi Musa AS. Dengan firman-Nya yang penuh kasih, Allah menegurnya, "Wahai Musa, siapakah yang memberimu hak untuk menutup pintu rahmat-Ku? Tidakkah engkau tahu bahwa kasih sayang-Ku lebih luas daripada langit dan bumi? Bahwa tidak ada dosa yang terlalu besar bagi-Ku untuk diampuni?"

    Hati Nabi Musa AS bergetar mendengar teguran dari Allah. Ia segera bangkit dan berlari menyusuri jalan yang telah dilewati wanita itu. Ia memanggil namanya, menelusuri jejak langkah yang tertinggal di pasir. Hingga akhirnya, ia melihatnya di kejauhan, berdiri sendirian di tepi sebuah sungai, air matanya jatuh bercampur dengan arus yang mengalir.

    "Wahai wanita! Berhentilah!" seru Nabi Musa AS.

    Wanita itu menoleh dengan tatapan putus asa. "Apa lagi yang ingin kau katakan, wahai Nabi Allah? Engkau telah menutup pintu harapan bagiku. Aku tak lagi punya tempat di dunia ini maupun di akhirat."

    Nabi Musa AS mendekatinya, kini dengan suara yang lembut, penuh kasih. "Aku telah salah. Aku telah berbicara tanpa memahami keluasan rahmat Allah. Dengarlah, wahai wanita... Rahmat-Nya lebih luas dari segala dosa yang telah engkau perbuat. Jika engkau benar-benar bertaubat, dengan hati yang hancur dan niat yang tulus, Allah pasti akan mengampunimu."

    Cahaya harapan mulai kembali bersinar di mata wanita itu. "Benarkah? Apakah aku masih memiliki kesempatan untuk kembali kepada-Nya?"

    "Ya," jawab Nabi Musa AS dengan penuh keyakinan. "Bertaubatlah dengan sungguh-sungguh. Sesali apa yang telah terjadi, dan jangan pernah kembali ke jalan yang salah. Dekatkan dirimu kepada Allah, karena Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang."

    Wanita itu jatuh bersujud. Tangisnya pecah, namun kali ini bukan karena keputusasaan, melainkan karena harapan yang kembali menyala. Ia berdoa dengan segenap hati, memohon ampun kepada Allah, menyerahkan seluruh dirinya kepada-Nya. Sejak hari itu, ia mengubah hidupnya sepenuhnya. Ia menjadi seorang hamba yang tekun beribadah, membasuh dosa-dosanya dengan air mata dan sujud yang tiada henti.

    Allah, yang Maha Pengasih, menerima taubatnya. Dosa-dosanya terhapus, dan ia pun menjadi salah satu hamba yang dicintai-Nya.

    Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada dosa yang terlalu besar bagi Allah. Selama seseorang benar-benar bertaubat dengan tulus, Allah pasti akan mengampuni. Pintu rahmat-Nya selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin kembali.

    Semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa seberapa pun kelam masa lalu kita, Allah selalu menanti kita untuk kembali. Aamiin.

    Sumber: Kisah ini terdapat dalam berbagai riwayat dan tafsir, di antaranya disebutkan dalam kitab-kitab tafsir klasik seperti Tafsir al-Khazin dan Tafsir Ibnu Katsir. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an, kisah ini sering dikutip oleh para ulama sebagai pengingat akan luasnya rahmat Allah dan pentingnya taubat yang sungguh-sungguh.