Ka’ab bin Malik adalah seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang terkenal sebagai seorang penyair dan pejuang. Namun, ia pernah mengalami satu ujian besar yang membuatnya hampir jatuh dalam kebohongan, tetapi akhirnya justru mendapatkan ampunan Allah karena kejujurannya.
Ketertinggalan dari Perang Tabuk
Pada tahun ke-9 Hijriyah, Rasulullah ﷺ memerintahkan seluruh Muslim untuk bersiap-siap menghadapi Perang Tabuk melawan Romawi. Perjalanan ini sangat berat karena musim panas yang menyengat, jarak yang jauh, dan kondisi yang sulit. Hampir semua sahabat ikut serta dalam perang ini, kecuali orang-orang munafik dan mereka yang memiliki uzur.
Ka’ab bin Malik sebenarnya tidak memiliki alasan untuk tertinggal. Dia sehat dan memiliki harta yang cukup untuk perjalanan. Namun, karena menunda-nunda persiapannya, ia akhirnya tertinggal dari rombongan pasukan. Setiap hari, ia berkata dalam hatinya, “Aku masih bisa menyusul mereka besok,” tetapi hari demi hari berlalu hingga akhirnya pasukan telah jauh pergi.
Kebimbangan Antara Jujur dan Berbohong
Ketika Rasulullah ﷺ dan pasukan kembali dari Tabuk, Ka’ab mulai merasa takut. Ia tahu bahwa orang-orang munafik akan datang dengan alasan palsu untuk menghindari kemarahan Nabi. Dalam hatinya, ia sempat berpikir untuk melakukan hal yang sama: membuat alasan agar Rasulullah ﷺ memaafkannya.
Namun, Ka’ab menyadari bahwa berbohong hanya akan membuatnya semakin jauh dari rahmat Allah. Akhirnya, ia memutuskan untuk berkata jujur.
Kejujuran yang Berbuah Penantian Panjang
Ketika tiba gilirannya menghadap Rasulullah ﷺ, beliau bertanya, “Apa yang membuatmu tidak ikut perang?”
Ka’ab dengan jujur menjawab, “Wahai Rasulullah, jika aku duduk di hadapan selain engkau, aku bisa mencari alasan dan membuatmu ridha. Namun, aku tahu jika aku berdusta, Allah akan memperlihatkan kebohonganku. Aku tidak memiliki uzur, aku hanya menunda-nunda.”
Rasulullah ﷺ mendengar pengakuannya dan tidak langsung memaafkannya. Sebagai hukuman, Ka’ab dan dua sahabat lainnya yang juga tidak ikut perang—Murarah bin Rabi’ dan Hilal bin Umayyah—dihukum dengan diputus hubungan oleh kaum Muslim selama 50 hari.
Ka’ab sangat merasakan kesedihan karena tak ada seorang pun yang mau berbicara dengannya, termasuk keluarganya. Bahkan ketika ia bertemu Rasulullah ﷺ, beliau hanya berpaling darinya.
Ampunan Allah untuk Kejujuran
Pada hari ke-50, turunlah ayat dari Allah:
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat mereka), hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah terasa sempit bagi mereka, serta mereka telah yakin bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian, Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.”(QS. At-Taubah: 118)
Mendengar kabar ini, Ka’ab langsung sujud syukur. Ia kemudian menghadap Rasulullah ﷺ, dan beliau bersabda, “Bergembiralah dengan hari terbaik yang pernah kau alami sejak ibumu melahirkanmu.”
Setelah kejadian ini, Ka’ab bersumpah untuk tidak pernah berkata bohong seumur hidupnya.
Kesimpulan
Kejujuran bukan hanya nilai moral, tetapi juga merupakan prinsip utama dalam Islam yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat. Nabi Muhammad ﷺ telah menegaskan bahwa kejujuran adalah sifat yang harus dimiliki oleh setiap Muslim agar mendapatkan ridha Allah. Oleh karena itu, marilah kita menjadikan kejujuran sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, baik dalam perkataan maupun perbuatan.
Semoga kita semua bisa menjadi pribadi yang jujur dan mendapat keberkahan dari Allah. Aamiin.