Kisah Imam Bukhari: Perjalanan Panjang dalam Mengumpulkan Hadis Shahih
Kisah dari Hadist

Kisah Imam Bukhari: Perjalanan Panjang dalam Mengumpulkan Hadis Shahih

Lahir dalam Ujian, Tumbuh dalam Kesabaran

Bayangkan seorang anak kecil yang kehilangan penglihatannya sejak usia belia. Muhammad bin Ismail al-Bukhari lahir dalam keadaan yang tidak mudah. Ayahnya wafat ketika ia masih kecil, meninggalkannya dalam pengasuhan seorang ibu yang salehah. Kehilangan penglihatan membuatnya terhalang untuk menikmati dunia seperti anak-anak lainnya. Namun, ibunya tak putus asa. Ia terus berdoa dengan penuh keyakinan, hingga suatu malam, dalam tidurnya, ia bermimpi bahwa Allah mengembalikan penglihatan putranya. Dan benar, saat Muhammad kecil terbangun, cahaya itu kembali ke matanya.

Apa yang bisa kita pelajari dari kisah ini? Allah adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ketika kita dihadapkan pada kesulitan, sejauh mana kita berusaha dan bertawakal kepada-Nya?

Perjalanan Ilmu yang Tidak Mengenal Batas

Sejak kecil, Imam Bukhari telah menunjukkan kecintaan luar biasa terhadap ilmu. Di usia 10 tahun, ia mulai menghafal hadis. Di usia 16 tahun, ia telah mengunjungi Mekah dan Madinah bersama ibunya untuk menunaikan haji. Namun, bukan perjalanan haji yang membuatnya terhenti. Di tanah suci itu, ia memilih untuk tinggal lebih lama, menuntut ilmu dari ulama besar.

Dari sana, langkahnya semakin jauh. Ia berjalan ribuan kilometer, dari kota ke kota, hanya untuk satu tujuan: mengumpulkan hadis Rasulullah yang benar-benar shahih. Ia pergi ke Basrah, Kufah, Baghdad, Mesir, Khurasan, dan banyak tempat lainnya. Tidak jarang, ia menghadapi kelaparan, kelelahan, bahkan fitnah dari mereka yang tidak menyukai metodenya yang ketat dalam menyeleksi hadis.

Dalam sebuah riwayat, diceritakan bahwa ia pernah kehabisan bekal dalam perjalanan, hingga harus bertahan hanya dengan makan rumput liar. Namun, tekadnya tetap teguh.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah benar-benar berusaha sekuat tenaga dalam mencari ilmu?

Ujian dan Fitnah: Keteguhan Seorang Ulama

Semakin tinggi seseorang dalam keilmuan, semakin besar ujian yang dihadapinya. Begitu juga Imam Bukhari. Ketika ia kembali ke negerinya, ia dituduh dengan fitnah yang keji, bahkan oleh sebagian ulama yang merasa iri dengan ilmunya. Ia diusir, ditolak, dan dijauhi oleh banyak orang yang sebelumnya menghormatinya.

Namun, di saat manusia menjauhinya, Allah tetap bersamanya. Dengan keteguhan hati, ia tetap melanjutkan pekerjaannya menyusun kitab Shahih al-Bukhari, yang hingga kini menjadi rujukan utama dalam ilmu hadis.

Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)

Imam Bukhari tidak membiarkan hinaan dan penolakan menghentikannya. Ia tetap menulis, mengajar, dan beribadah dengan penuh ketakwaan.

Kita sering takut dikritik atau difitnah. Namun, apakah kita sudah belajar dari Imam Bukhari tentang bagaimana bersabar dan tetap berada di jalan kebenaran?

Warisan yang Abadi

Imam Bukhari wafat dalam kesendirian di sebuah desa kecil bernama Khartank, dekat Samarkand. Namun, ia meninggalkan warisan yang tidak akan pernah pudar. Kitabnya menjadi rujukan utama bagi seluruh umat Islam hingga hari ini. Namanya disebut dengan penuh penghormatan di seluruh dunia.

Allah berfirman:

"Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; tetapi yang memberi manfaat kepada manusia, akan tetap di bumi." (QS. Ar-Ra’d: 17)

Hidup Imam Bukhari telah berakhir, tetapi manfaat dari ilmunya tetap ada. Begitu juga dengan kita, apa warisan yang ingin kita tinggalkan?

Penutup

Kisah Imam Bukhari mengajarkan kita bahwa ilmu tidak bisa diraih dengan kemalasan, kesuksesan tidak datang tanpa ujian, dan kebenaran harus diperjuangkan meskipun sulit. Jika kita benar-benar ingin meneladani perjalanan beliau, maka jangan pernah berhenti belajar, bersabar dalam cobaan, dan selalu meniatkan segala sesuatu karena Allah.

Sudahkah kita berusaha seperti beliau?