Di sebuah sore yang tenang di padang pasir Madinah, Abu Dharr Al-Ghifari datang dengan wajah serius. Langkahnya mantap, tapi hatinya penuh harap. Ia bukan sahabat biasa. Ia dikenal lurus, jujur, dan sangat membenci kemewahan dunia. Tak heran jika Nabi Muhammad ﷺ sangat mencintainya
Namun hari itu, ada yang berbeda.
Abu Dharr mendekati Rasulullah ﷺ dan berkata dengan penuh kejujuran:
"Ya Rasulullah, tidakkah engkau menunjukku untuk suatu jabatan kepemimpinan?"
Permintaannya sederhana. Tapi jawabannya menggetarkan.
“Wahai Abu Dharr, sesungguhnya engkau adalah seorang yang lemah. Dan jabatan itu adalah amanah. Pada hari kiamat, jabatan akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi yang mengambilnya dengan benar dan menunaikan tanggung jawabnya dengan baik.”
Hening.
Bayangkan. Seorang sahabat yang begitu jujur — ditolak. Bukan karena ia buruk. Tapi karena jujur saja tidak cukup. Menjadi pemimpin bukan sekadar tentang niat baik. Tapi tentang kapasitas. Tentang kekuatan jiwa. Tentang tahan bantingnya diri saat dihadapkan pada godaan kekuasaan.
Mengapa Ini Mengguncang Kita Sekarang?
Hari ini, di abad teknologi dan banjir informasi, banyak yang berebut kursi kekuasaan. Jabatan menjadi perhiasan di bio Instagram, bukan lagi beban di pundak. Orang-orang lebih takut kehilangan pengaruh daripada kehilangan integritas.
Abu Dharr tidak meminta jabatan untuk memperkaya diri. Ia meminta karena ia merasa bisa berbuat baik. Tapi bahkan niat itu pun tidak cukup, jika tidak disertai kemampuan yang sesuai. Dan Nabi ﷺ tidak memberikan jabatan hanya karena cinta pribadi. Ia mengajarkan standar yang tinggi — dan adil.
Sungguh, jika hari ini kita menonton berita tentang korupsi, penyalahgunaan wewenang, atau birokrasi yang kotor, kita bisa merujuk ke hadits ini dan berkata: “Ini sudah diperingatkan sejak 1400 tahun lalu.”
Abu Dharr Tak Marah — Ia Justru Tunduk
Yang membuat kisah ini semakin menyentuh adalah reaksi Abu Dharr. Ia tidak protes. Tidak menyindir. Tidak membentuk koalisi tandingan. Ia tunduk. Ia sadar bahwa kejujuran dan kekuatan harus berjalan beriringan.
Abu Dharr lalu memilih jalan sunyi. Ia hidup sederhana di pinggiran Syam. Tak ada rumah mewah. Tak ada jabatan. Tapi namanya harum sampai hari ini. Ia tidak memimpin negeri — tapi ia memimpin hatinya sendiri. Dan itu lebih sulit.
✨ Pelajaran yang Menyala untuk Kita Hari Ini
📚 Referensi Hadits:
"Semakin kamu merasa pantas memimpin, semakin kamu perlu diuji. Sebab, di sisi Allah, jabatan bukan penghargaan—melainkan hisab yang panjang."