Kesabaran Nabi Ya'qub: Luka Seorang Ayah dan Janji yang Tak Pernah Padam
Kehilangan Anak

Kesabaran Nabi Ya'qub: Luka Seorang Ayah dan Janji yang Tak Pernah Padam

Di sebuah rumah penuh cahaya kenabian, hidup seorang ayah bernama Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim. Ia bukan hanya seorang nabi, tapi juga ayah dari dua belas putra—salah satunya adalah Yusuf, anak yang paling lembut hati dan bercahaya wajahnya.

Nabi Ya’qub dan 12 Putra
Nabi Ya’qub dan 12 Putra

Namun dari rumah yang diberkahi itulah, bermula sebuah luka yang dalam: kehilangan seorang anak, Yusuf, yang akan menguji sabar seorang nabi, dan menjadi kisah yang diceritakan sepanjang zaman.

Hari Itu, Yusuf Menghilang

Semua bermula dari mimpi.

“Wahai ayahku, sungguh aku melihat dalam mimpiku sebelas bintang, matahari dan bulan. Aku melihat mereka sujud kepadaku.”

Ya’qub langsung mengerti: ini mimpi seorang nabi. Tapi ia tahu juga bahwa anak-anaknya yang lain tidak akan suka mendengarnya.

Dan benar saja—kecemburuan merasuki hati saudara-saudara Yusuf. Lalu dengan tipu daya, mereka membawa Yusuf jauh dari rumah, dan mencelupkan bajunya ke darah palsu. Mereka pulang sambil menangis, mempersembahkan kebohongan yang memilukan.

“Serigala memakannya,” kata mereka.

Tapi Ya’qub Tidak Percaya

Ayat itu tegas:

“Namun, hati Ya'qub tidak mempercayainya.”

Karena seorang ayah bisa merasakan—apa yang dusta dan apa yang nyata.

Di sinilah awal kesabaran itu dimulai. Bukan sabar sehari dua hari. Tapi sabar yang menua, sabar yang tumbuh bersama keriput dan uban. Ia kehilangan Yusuf di usia remaja... dan bertahun-tahun kemudian, Yusuf telah menjadi pejabat Mesir.

Konon—dan ini mitos yang populer—Ya’qub menangis begitu hebat setiap malam, hingga air matanya membentuk aliran kecil di tempat tidurnya. Dan tanah di bawahnya selalu lembap, karena setiap malam ia menangis di titik yang sama.

Yang benar adalah: matanya memutih karena kesedihan. Bukan karena ia lemah, tapi karena cinta dan rindu yang tak tertahankan.

"Dan matanya menjadi putih karena kesedihan yang sangat mendalam, dan ia menahan amarahnya."

Sabar Itu Bukan Diam

Sabar Nabi Ya’qub bukan diam tanpa rasa. Ia marah. Ia kecewa. Ia menangis. Tapi ia selalu berkata:

Kesabaran itu Indah
Kesabaran itu Indah
"فَصَبْرٌ جَمِيلٌ" – Maka (aku akan bersikap dengan) sabar yang indah.

Sabar yang tidak diiringi keluhan kepada manusia, tapi langsung kepada Allah.

Ia tidak duduk pasrah. Ia terus berharap. Ia tidak membenci anak-anaknya, meski tahu mereka bersalah. Bahkan ketika mereka datang dengan masalah lain—adik Yusuf, Bunyamin, ditahan di Mesir—Ya’qub tidak meledak. Ia hanya berkata:

“Pergilah kalian dan cari Yusuf dan saudaranya, dan jangan putus asa dari rahmat Allah.”

Akhir Penantian: Doa yang Membuka Langit

Setelah bertahun-tahun yang sunyi, harapan Ya’qub terjawab dalam peristiwa yang menggetarkan: sehelai baju dikirim dari Mesir. Baju Yusuf. Begitu ia sampai, dan diusapkan ke wajah Ya’qub, matanya kembali terang.

"Maka tatkala datang pembawa kabar gembira, dia letakkan baju itu ke wajahnya, lalu ia kembali dapat melihat."

Lalu mereka bertemu kembali. Yusuf mencium tangannya. Ya’qub memeluknya erat.

“Wahai ayahku, inilah takwil mimpiku dahulu. Sungguh Rabb-ku telah menjadikannya kenyataan.”

Mereka yang dulu membuat luka, kini sujud meminta maaf. Dan Ya’qub? Ia memaafkan. Sepenuh hati. Tidak ada dendam. Tidak ada kemarahan. Hanya kelegaan.

Pelajaran dari Luka Seorang Nabi

Kesabaran Ya’qub bukan hanya sabar menghadapi kehilangan. Tapi sabar menjaga cinta, sabar menahan prasangka, sabar menunggu janji Allah. Sabar tanpa batas waktu. Sabar yang diisi dengan doa, bukan keluh. Dengan zikir, bukan amarah.

Mitos lain yang sering beredar—dan ini juga mitos—adalah bahwa Ya’qub tahu Yusuf masih hidup karena ia menerima wahyu setiap malam dalam mimpi. Namun para ulama tafsir sepakat: tidak ada wahyu khusus soal keberadaan Yusuf. Yang ada hanyalah harapan, dan keyakinan yang tidak padam.

Sabar Itu Tidak Lekang oleh Zaman

Kisah ini bukan untuk menghibur. Tapi untuk menguatkan. Karena banyak dari kita kehilangan sesuatu: anak, harapan, waktu, masa depan, kesehatan. Dan kadang kita bertanya: “Sampai kapan?”

Jawabannya ada pada Ya’qub:

“Sampai Allah berkata, cukup.”

Dan ketika waktu itu tiba, semua luka akan sembuh. Semua air mata akan berbuah. Semua rindu akan bertemu.