Pada suatu fajar yang berkabut di tahun 711 M, suara ombak di Selat Gibraltar berpadu dengan deru langkah ribuan prajurit yang baru saja menjejakkan kaki di tanah asing. Thariq bin Ziyad, seorang jenderal muda keturunan Berber, berdiri tegap di puncak bukit berbatu, memandang daratan luas yang membentang di hadapannya. Di belakangnya, kapal-kapal yang membawa pasukannya telah ia bakar, meninggalkan mereka dengan satu pilihan: maju atau binasa. "Laut ada di belakang kalian, dan musuh ada di depan!" serunya lantang, membakar semangat para prajuritnya.

Penaklukan Andalusia bukanlah ambisi kosong atau sekadar memanfaatkan konflik internal kerajaan Visigoth. Dinasti Umayyah yang berkuasa di Damaskus saat itu berada dalam fase ekspansi besar-besaran, memperluas dakwah Islam hingga ke ujung barat dunia yang dikenal saat itu. Selain itu, ada faktor geopolitik yang membuat langkah ini semakin relevan. Kaum Muslim di Afrika Utara telah lama berinteraksi dengan wilayah Iberia, baik melalui perdagangan maupun hubungan diplomatik. Keluhan dari komunitas Yahudi dan kaum tertindas di bawah pemerintahan Visigoth yang otoriter juga menjadi alasan kuat bagi Muslim untuk melihat kemungkinan masuk ke wilayah tersebut.
Sementara itu, di Semenanjung Iberia, Kerajaan Visigoth yang memerintah sedang mengalami kekacauan internal akibat perebutan kekuasaan. Raja Roderic yang baru naik takhta menghadapi pemberontakan dari para bangsawan, membuat kerajaan itu lemah dan terpecah belah. Salah satu faktor pemicu penting adalah permintaan bantuan dari Julian, gubernur Ceuta, yang merasa dikhianati oleh Raja Roderic. Julian meminta bantuan kepada Musa bin Nushair, gubernur Muslim di Afrika Utara, untuk menggulingkan Roderic. Situasi ini memberikan kesempatan bagi pasukan Muslim untuk masuk dan menaklukkan wilayah tersebut dengan cepat.
Dengan keberanian dan strategi yang matang, pasukan Muslim menggempur kerajaan Visigoth yang lemah akibat perang saudara. Satu demi satu, kota-kota jatuh ke tangan mereka. Cordoba, Sevilla, hingga akhirnya Toledo—ibu kota Visigoth—takluk dalam waktu singkat. Andalusia pun berubah menjadi wilayah Islam yang penuh dengan kemajuan, menandai awal dari era keemasan peradaban Muslim di Eropa.

Di bawah pemerintahan Dinasti Umayyah, Andalusia berkembang menjadi pusat keilmuan dan kebudayaan. Cordoba menjadi kota yang lebih maju dibandingkan banyak kota Eropa lainnya pada masa itu. Jalan-jalannya diterangi lampu minyak, perpustakaan megahnya menyimpan ratusan ribu manuskrip, sementara rumah-rumah sakit dan sekolah-sekolah didirikan bagi rakyat.
Salah satu tokoh terbesar dari era ini adalah Ibnu Rusyd (Averroes), seorang filsuf yang karyanya tentang logika dan hukum mempengaruhi pemikiran Eropa. Ada pula Al-Zahrawi, bapak ilmu bedah modern, yang menciptakan lebih dari 200 alat bedah yang masih digunakan hingga kini. Ilmuwan Muslim tak hanya menerjemahkan karya-karya Yunani dan Romawi, tetapi juga memberikan kontribusi besar dalam bidang astronomi, kedokteran, dan matematika.
Namun, kejayaan ini mulai pudar ketika persatuan Muslim mulai retak. Dinasti-dinasti kecil yang saling bersaing membuka celah bagi kerajaan Kristen di utara untuk melakukan Reconquista. Sedikit demi sedikit, wilayah Islam di Andalusia direbut kembali. Kejatuhan terbesar terjadi pada tahun 1492, ketika Granada, benteng terakhir Muslim, menyerah kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Dengan jatuhnya Granada, berakhir sudah delapan abad kejayaan Islam di Spanyol.
Setelah penaklukan kembali oleh kaum Kristen, masjid-masjid diubah menjadi gereja, kitab-kitab ilmu pengetahuan dibakar, dan umat Islam yang tersisa dipaksa untuk berpindah agama atau diusir. Namun, jejak kejayaan Andalusia tetap abadi dalam ilmu pengetahuan yang diwariskannya kepada dunia Barat, menjadi fondasi bagi Renaissance di Eropa.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an: "Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)..." (QS. Ali 'Imran: 140). Andalusia mengajarkan bahwa kejayaan tidak kekal jika tidak dijaga dengan persatuan, ilmu, dan ketakwaan.
Referensi: