Bayangkan malam gelap tanpa bulan, di mana langkah kaki disembunyikan oleh pasir dan keheningan. Di tengah ketegangan yang mencekam, seorang lelaki ditemani sahabat karibnya diam-diam meninggalkan kota yang telah menjadi ladang penyiksaan bagi para pengikutnya. Ia tidak sekadar melarikan diri—ia sedang menyusun fondasi peradaban baru.
Itulah malam hijrah Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini bukan sekadar pelarian. Ia adalah strategi jenius, manuver politik, dan langkah awal pendirian negara Islam pertama di dunia.
Sebuah Kota yang Menolak, Sebuah Kota yang Menyambut
Selama lebih dari satu dekade, Rasulullah berdakwah di Makkah. Tapi yang beliau dan para pengikutnya terima hanyalah hinaan, boikot, dan penyiksaan. Hingga akhirnya datang secercah harapan dari Yatsrib—kota kecil di utara yang kini kita kenal sebagai Madinah.

Di sinilah letak kecerdikan strategi Nabi. Beliau tidak sekadar menunggu wahyu dan mukjizat. Beliau mengutus duta-duta—seperti Mush'ab bin Umair—untuk berdakwah lebih dulu ke Yatsrib. Hasilnya? Dua kabilah besar di sana, Aus dan Khazraj, yang sebelumnya saling bermusuhan, kini mulai menyatu di bawah cahaya Islam.
Itulah awal mula Perjanjian Aqabah, di mana sejumlah pemuka Madinah bersumpah setia kepada Nabi dan bersedia melindunginya seperti melindungi keluarga sendiri. Ini bukan hanya dukungan spiritual, tapi kontrak politik.
Malam Hijrah: Operasi Intelijen yang Brilian
Saat para pemuka Quraisy merancang konspirasi untuk membunuh Nabi—sebuah pertemuan rahasia di Darun Nadwah—Rasulullah sudah selangkah lebih maju. Dengan strategi yang nyaris seperti operasi militer, beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk tidur di ranjangnya, mengecoh para pembunuh. Sementara itu, beliau dan Abu Bakar Ash-Shiddiq menyelinap keluar dari Makkah dan bersembunyi di Gua Tsur selama tiga malam.
Di sini, mitos pun ikut hidup. Banyak yang meyakini bahwa laba-laba menjalin jaring di mulut gua, dan burung merpati bertelur di depannya—menipu para pengejar yang mengira gua itu kosong sejak lama. Walau ini tidak ada dalam riwayat sahih, ia menjadi simbol betapa perlindungan Allah hadir dengan cara yang tidak terduga.
Yang pasti: langkah demi langkah hijrah ini penuh perhitungan. Abu Bakar menyiapkan unta. Asma binti Abu Bakar membawa bekal dan merahasiakan jejak. Amir bin Fuhairah bertugas menghapus jejak kaki di padang pasir. Abdullah bin Abu Bakar menyuplai informasi intelijen dari kota. Ini bukan pelarian spontan. Ini adalah strategi logistik dan pengamanan.

Disambut dengan Shalawat dan Strategi Sosial
Saat Nabi Muhammad memasuki Madinah, sambutan luar biasa terdengar:
“Thala‘al badru ‘alayna...”
Lagu itu, yang masih dinyanyikan hingga kini, menjadi simbol kegembiraan rakyat Madinah menyambut pemimpin baru mereka. Tapi Rasulullah tak hanya datang sebagai pemuka agama. Ia langsung membangun tiga hal:
Inilah strategi sosial-politik Rasulullah: mempersatukan komunitas yang beragam dan sering bertikai menjadi satu masyarakat sipil yang berlandaskan hukum dan keadilan.
Kaum Muhajirin dan Kaum Anshar: Revolusi Sosial
Rasulullah tahu bahwa kedatangan kaum Muhajirin (para pendatang dari Makkah) bisa menciptakan ketegangan sosial. Maka, beliau menyandingkan mereka dengan penduduk Madinah (Kaum Anshar) dalam ikatan persaudaraan (mu'akhah). Ini bukan sekadar "tukar kamar". Mereka berbagi rumah, makanan, bahkan warisan.
Langkah ini menghapus sekat suku, status, dan kekayaan. Bayangkan, seorang pedagang kaya dari Madinah menawarkan separuh hartanya kepada sahabat dari Makkah yang datang tanpa apa-apa. Peradaban Islam pun mulai berdiri di atas semangat solidaritas, bukan kekuasaan.
Umat Islam Kini Berdaulat
Hijrah adalah titik balik. Dari kelompok minoritas yang tertindas, umat Islam menjadi komunitas mandiri. Di Madinah, Islam bukan hanya ajaran pribadi, tapi sistem hidup lengkap—agama, pemerintahan, hukum, dan masyarakat berjalan dalam satu kesatuan.
Dan yang luar biasa, semua itu dibangun tanpa kekerasan. Rasulullah tidak mengambil alih Madinah dengan senjata, tapi dengan akhlak, diplomasi, dan strategi yang tajam.
Penutup: Hijrah Bukan Pelarian, Tapi Permulaan
Hijrah bukan cerita heroik biasa. Ia adalah strategi peradaban. Nabi Muhammad tidak hanya membawa Islam dari Makkah ke Madinah—beliau membawa Islam dari keterasingan menuju kejayaan. Langkah demi langkah hijrah menunjukkan bahwa membangun peradaban tidak cukup dengan semangat, tapi juga butuh strategi, keberanian, dan visi.
Kini, setiap Muslim yang membaca kisah hijrah tidak hanya diingatkan tentang perjuangan fisik Nabi—tapi juga tentang pentingnya membangun masyarakat dengan kecerdasan, solidaritas, dan kepemimpinan yang bijaksana.