Pasar Madinah tengah sibuk. Pedagang menawarkan dagangannya, aroma rempah-rempah bercampur dengan suara riuh tawar-menawar. Di tengah keramaian itu, seorang pria melangkah cepat, wajahnya merah padam, nadinya menegang. Amarah memenuhi dadanya, suaranya meninggi saat ia mendekati Rasulullah SAW. Orang-orang mulai melirik, beberapa mundur sedikit, bersiap menghadapi kemungkinan buruk. Tapi Rasulullah SAW tetap tenang. Sorot matanya teduh, posturnya tegap, tidak sedikit pun terbawa oleh energi negatif di depannya. Tidak ada ketegangan, tidak ada balasan keras. Bagaimana mungkin seseorang bisa tetap setenang itu dalam situasi yang penuh tekanan? Apa yang membuat Rasulullah mampu mengendalikan emosinya dengan begitu sempurna?
Kemarahan Nabi: Bukan untuk Diri, tapi untuk Allah
Nabi Muhammad SAW adalah teladan kesabaran. Aisyah RA pernah berkata dalam sebuah hadits, “Rasulullah SAW tidak pernah memukul siapa pun dengan tangannya, tidak wanita, tidak pembantu, kecuali dalam jihad di jalan Allah. Beliau tidak pernah membalas kejahatan yang menimpanya, kecuali jika kehormatan Allah dilanggar, maka beliau akan marah demi Allah” (Sahih Muslim, Kitab Fadhail, Hadits Nomor 2328). Kemarahan Nabi sangat jarang terjadi, dan ketika itu muncul, bukan untuk ego pribadi, melainkan untuk menegakkan kebenaran.
Salah satu kisah mencolok terjadi saat Nabi melihat praktik yang menyimpang. Dalam Sahih Bukhari, Kitab Janaiz, Hadits Nomor 1331, diceritakan bahwa beliau menemukan orang-orang berdoa di dekat makam—sesuatu yang dilarang dalam Islam. Dengan tegas, beliau bersabda, “Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat perayaan, dan jangan menjadikan rumah kalian sebagai kuburan. Ucapkanlah salam kepadaku, karena salam kalian akan sampai kepadaku di mana pun kalian berada.” Nada tegasnya bukan ledakan emosi, melainkan peringatan penuh hikmah untuk meluruskan umat.

Rahasia Pengendalian Emosi dari Nabi
Lalu, bagaimana Nabi mengajarkan kita menghadapi amarah? Dalam Sahih Bukhari, Kitab Adab, Hadits Nomor 6116, beliau bersabda, “Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah yang mampu mengendalikan dirinya saat marah.” Kata-kata ini sederhana, tapi mengguncang. Kekuatan sejati bukan di otot, melainkan di hati yang sabar.
Nabi juga memberikan langkah praktis. Dalam Sunan Abu Dawud, Kitab Adab, Hadits Nomor 4779, beliau menasihati, “Jika salah seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam.” Diam adalah tameng pertama melawan kata-kata yang bisa merusak. Lebih jauh lagi, dalam Sahih Bukhari, Kitab Adab, Hadits Nomor 6114, Nabi berkata, “Jika kalian marah, dan kalian sedang berdiri, duduklah. Jika masih marah, berbaringlah.” Mengubah posisi tubuh ternyata bisa memutus siklus emosi yang membara—sebuah trik sederhana yang relevan hingga kini.
Hikmah untuk Kehidupan Kita
Apa yang bisa kita ambil dari kisah ini?
Coba bayangkan jika kita meneladani Nabi di setiap momen panas. Berapa banyak pertengkaran yang bisa reda? Berapa banyak hati yang bisa terjaga? Kisah ini adalah cermin, mengajak kita melihat diri sendiri dan bertanya: “Sudahkah aku mengendalikan amarahku seperti Rasulullah?”
Referensi: